Pemulung Pesisir
Terserah kawan, kau sebut
ini cerpen, dongeng, rangkaian kata yang tak bertepi, kau bebas menamainya, tak
ada paksaan atau diskriminasi sedikitpun dariku.
Sebut saja namaku jenar, hanya itu tidak ada tambahan ahmad,
abdul, micheal, atau apalah karena memang hanya itu.
Aku pun tidak tahu mengapa simbok memberiku nama itu padaku,
mungkin karena dia ngefans sama pangeran mahesa jenar yang gagah berani itu.
Atau juga karena syeh siti jenar yang terkenal dengan kemisteriusan tentang
ajarannya. Entahlah, soalnya dia tidak pernah cerita dan aku malas
menanyakan hal sepele seperti itu.
Inilah aku kawan, seorang yang selalu berteman gulungan ombak,
raungan burung camar, dan sepoi-sepoi pasir. Mungkin engkau mengira aku seorang
nelayan, anak nelayan, atau bahkan pelayar. Bukan kawan, aku adalah seorang
pemulung di pesisir pantai utara pulau jawa. Tepatnya di palang, tuban. Kota
yang pernah dipimpin oleh seorang lelaki yang berani menentang kekuasaan dan
keangkuhan majapahit, siapa lagi kalau bukan adipati ronggolawe, “seandainya masih ada orang-orang seperti
itu”.
Nampak langit memerah bagai sisa tumpahan darah perang panjang
beberapa abad silam, tebaran pasir pun terlihat ribut berkecamuk
pedang perisai pada perang luar biasa tersebut. Dari siang sampai senja ini,
aku hanya memperolah tujuh botol aqua, dan delapan kaleng bekas minuman
bersoda. Dalam hatiku jengkel, “tidak seperti biasanya, bisa empat kali lipat
dari ini”.
Dentuman ombak menggempur karang yang menjadi latar perenunganku
hari ini,
“Mengapa hari ini aneh?”.
Sang matahari pun berangsur-angsur turun ke pengaduannya, seakan
acuh dengan perasaan yang kini tengan kurasakan.
Dari bayangan gelap langit sandi’olo ini, mataku manatap tajam kearah
sesosok bayang di tepian karang-karang terjal. Semakin lama semakin jelas.
Ternyata pemulung baru, “pantaslah kalau hari ini aku mendapatkan hasil yang
sedikit, tapi apa yang harus aku perbuat padanya? Pesisir laut ini kepunyaan
tuhan, semua orang bebas mengambil apapun disini, apalagi hanya sekedar
seleberan sampah”.
Petang semakin kelabu, menambah kerisauan dalam hatiku, “ aku
tidak berani pulang dengan hasil seperti ini”. Mungkin sebaiknya aku tidur,
tidur di kolong jembatan brondong perbatasan bumi joko tingkir dan bumi
ronggolawe. Sudah sobat, jangan kau ganggu aku sekarang. Aku lelah, letih, dan
aku pun belum makan. Hanya tadi, secuil roti di pinggir tong sampah masih tidak
bisa mengganjal isi perutku.
Dengungan perahu nelayan kembali dari pelayarannya, ditambah
sengatan nakal matahari membangunkanku. Aku kucek perlahan sekujur mata dan
pelipisku, kemudian kubasuh dengan air muara agar menambah dan menyempurnakan
kesadaranku.
“Ya, sekarang aku akan langsung ke pesisir, pasti banyak
botol-botol dan kaleng bekas bertebaran. Tadi malam kan malam minggu”.
Pradugaku benar, ternyata banyak sekali barang-barang yang aku
impikan, aku semangat sekali hari ini kawan.
Karung yang aku pikul pun terlihat lebih gendut sekarang,
terbesit sesungging senyum dimulut laparku,
“Hari ini aku dapat makan enak”.
Di tengah perjalananku ke pengepul, ku lihat pemulung kemarin
duduk termenung di atas pasir, di tengah keramaian orang-orang yang berlibur
atau sekedar melihat pantai dan laut surut. Aku tercengang, si pemulung itu
mengambil dompet dari salah seorang gerombolan orang disana, suasana pun
menjadi gaduh dan ramai sekali. Dan aku lebih kaget sekarang, dompet itu
diletakkan digenggaman tanganku. Berpuluh mata pun menatap tajam ke arahku,
“Itu copetnya, hajar dia,
bunuh dia”, ujar meraka kompak bersahutan.
“Bukan saya pak...bu...mas...mbak...”
Tapi naas kawan, puluhan
tangan itu menyerbu muka dan pilinganku. Kaki-kaki bersepatu, bersandal
dihempaskan keras ke tengah perutku. Aku pun muntah darah, tapi orang-orang
yang dikuasai hawa iblis itu tidak memperdulikanku. Bahkan dalam suasana kalap
itu aku melihat dari salah satu pemuda mengambil bambu yang biasa dipergunakan
untuk tempat mengikat tali perahu. Kau pasti tahu kawan, itu sangat keras dan
besar, dan kayu itu dilesatkan ke kepalaku yang sudah benjol semua. Yang masih
ku ingat, dilesatkan tiga kali kearahku. Kau pasti tahu sendiri darah yang
keluar dari kepalaku kawan, banyak sekali, bercucuran merah di perairan garam
yang kelam.
Aku pun tidak sadar.
Tadi sempat aku berpikir
akan ditolong kanjeng sunan kalijaga atau adipati ronggolawe, tapi ternyata
tidak. Apakah memang seperti ini takdir yang harus kualami, sebagai seorang
yang tak bersalah, tapi harus menerima sakit dan siksa dari apa yang tak ku
lakukan ini. Apakah ini keadilanmu Tuhan ? entahlah, tapi ibadah yang kulakukan
sampai ini memang kulakukan hanya karenaMu, tanpa aku menginginkan madu atau
arak di surgamu ataupun juga takut akan jurang-jurang di Nerakamu.
Sekarang aku menikmati ketidaksadaranku yang duhujam guyuran
ombak ganas yang malilit-lilit jasadku yang sudah remuk dan hancur.
Oh ya kawan, aku bukan pingsan atau tidur disini, aku memang
sudah tak sadarkan diri, untuk selamanya kawan, untuk selamanya.
Aku melihat dari gumpalan awan, turun puluhan makhluk bersayap
putih bercahaya dengan keranjang dari bahan yang aku tak tahu terbuat dari apa
itu , tapi itu indah sekali
Sinar putih pun membahana kemana-mana
Pekat
Terima kasih kawan, engkau mau mendengarkan cerita atau dongeng
atau apalah terserah kau menamainya. Sedikit pituturku,”lakukan sesuatu yang
terbaik pada hari-harimu sekarang kawan, karena si maut itu tidak pernah
pandang bulu, pandang waktu, dan pandang tempat”. Senang bercerita denganmu
kawan.”
23 oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar